Belum lama ini, majalah Forbes mengumumkan negara-negara terkaya di dunia,
diukur dari pendapatan per kapita yang disesuaikan dengan “paritas daya
beli”. Dalam daftar, Qatar nomor wahid, Singapura ketiga, dan Brunei
Darussalam kelima.
Apa itu paritas daya beli (PPP – Purchasing Power Parity) yang digunakan
sebagai ukuran oleh Forbes? Cara mudahnya memahami indikator tersebut
adalah dengan membandingkan nilai mata uang domestik dengan mata uang
acuan jika dibelanjakan pada sekelompok barang atau jasa.
Contoh sederhana misalnya, untuk menginap di hotel bintang lima di
Amerika, harganya US$ 1.000 atau sekitar Rp 9 juta semalam. Di
Indonesia, dengan harga Rp 3 juta per kamar, berarti orang Amerika bisa
dapat tiga kamar di hotel bintang lima kita, sementara jika kita ke
Amerika hanya dapat satu kamar.
Inilah yang diukur oleh Forbes dalam pemeringkatannya itu.
Indikator ini digunakan untuk menjelaskan kemampuan daya beli mata uang
kita. Secara teoretis misalnya, ketika rupiah melemah terhadap dolar AS,
maka barang kita yang dikirim ke negara tersebut bisa dibeli dengan
harga murah. Berarti ada potensi peningkatan besar dalam perdagangan.
Tapi mengapa tidak terjadi?
Pada kasus krisis ekonomi global, biasanya indikator makro pertama yang
bergejolak adalah kurs, seperti pada pengalaman 1997/1998. Namun
ironisnya, pada saat yang sama, ekspor juga turun, seolah tidak sesuai
dengan logika ekonomi yang ada.
Satu hal yang perlu diingat adalah, kurs merupakan nilai tukar nominal
mata uang dalam negeri (rupiah) terhadap mata uang asing (misalnya
dolar). Sedangkan nilai tukar atau lebih tepatnya nilai tukar riil itu
didapatkan dari paritas daya beli (PPP) yang nilainya dipengaruhi oleh
perbandingan harga di luar negeri dan harga di dalam negeri.
Semakin tinggi harga di luar, maka semakin lemah nilai tukar riil mata uang kita.
Hubungannya dengan cerita ekspor, itu akibat komponen bahan baku impor
dalam produk manufaktur Indonesia masih sangat tinggi. Produksi kita
jadi membutuhkan biaya besar untuk mendatangkan bahan baku impor itu,
sehingga ongkos produksinya bisa mengalami kenaikan. Akibatnya, harga
juga produk jadi lebih mahal.
Karena itu tak perlu heran seandainya dalam kondisi nilai tukar rupiah
melemah terhadap dolar, ekspor pun tak mampu memanfaatkan pasar ekspor
secara maksimal. Dalam kondisi krisis sekarang apalagi, permintaan dari
negara luar juga mengalami penurunan.
Dari kisah Forbes dan ekspor ini, ada pelajaran yang sebenarnya bisa
dipetik. Terutama bagi kita sebagai pemula yang ingin terjun ke bisnis
berorientasi ekspor. Gunakanlah sebanyak-banyaknya bahan baku lokal yang
sudah tersedia di dalam negeri, sehingga pergerakan kurs di tengah
gejolak krisis misalnya, tidak banyak mempengaruhi ongkos produksi.
Bahkan lebih dari itu, kita justru bisa meraup untung lebih. Sebab,
ongkos produksi — dalam rupiah — tidak naik lantaran barangnya tidak
perlu mengimpor, sementara menjualnya dalam mata uang dolar yang
nilainya lebih besar.
Modus seperti ini, bisa juga terjadi pada ruang lingkup kehidupan
mencari nafkah dan menghabiskannya. Jika sempat mengunjungi Johor Bahru,
Malaysia yang bersebelahan dengan Singapura, kita bisa menyaksikan
setiap pagi, warga dari kota tersebut bergelombang melintasi pintu
perbatasan kedua negara demi menuju tempat kerjanya — termasuk di
pabrik-pabrik atau pelabuhan — di Singapura. Sore hari, mereka
berbondong-bondong pula kembali ke rumah di Malaysia.
Itu artinya, memperoleh pendapatan dalam standar dolar Singapura,
kemudian membelanjakannya dengan standar ringgit Malaysia. Sementara,
rasio dolar Singapura dengan ringgit — saat ini — adalah 2,4. Dolar jauh
lebih besar atau memiliki daya beli lebih bagus ketimbang ringgit.
Bisakah siasat serupa kita terapkan di sini? Misalnya, dengan tinggal di
Bogor dan bekerja di Jakarta atau perbandingan dengan kota-kota lain?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar